TARIKH
TASYRI’ MASA RASULULLAH SAW.
Ditulis untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu : Dessy Srie Yanti Budiningsih,
MSI
Oleh:
Isbah Ruddin ( 11210362 )
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM WALISEMBILAN
SEMARANG
TARIKH
TASYRI’ MASA RASULULLAH SAW.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasyri’ secara
istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum dan
ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan manusia.
Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah permasalahan yang sangat
perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam
lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup
penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan baku
untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah Tasyri’. Tentunya
dengan kondisi tersebut, Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah untuk
menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini
tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai
beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan
seterusnya. Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar
belakang turunnya Al-Qur’an. Banyak hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya
Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul.
Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat disana, akan tetapi bukan berarti
Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab, karena diturunkannya
Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya
Pada masa Rasulullah SAW. kekuasaan
pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika
itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi
suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri.
Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW.
Selajutnya dalam makalah ini akan
dibahas tentang bagaimana pembinaan hukum pada masa Rasulullah SAW, apa yang
menjadi sumber hukum pada masa Rasulullah SAW dan bagaimana kedudukan Ijtihad
di masa ini.
Semoga makalah ini dapat dijadikan
pembelajaran untuk kita semua dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan
tentang sejarah Islam khususnya dalam bidang pembinaan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tasyri’
pada periode Makkah dan Madinah?
2. Apa saja
sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah?
3. Bagaimana
kedudukan ijtihad Rasulullah SAW dalam penetapan hukum?
4. Bagaimana
kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah SAW?
C. Tujuan
1. Mengetahui
tarikh tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah.
2. Mengetahui
sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah.
3. Mengetahui
kedudukan ijtihad Rasulullah SAW dalam penetapan hukum.
4. Mengetahui
kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah SAW.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tasyri’
Pada Periode Makkah
dan Madinah
Hukum islam pada masa Nabi Muhammad SAW dapat
dibedakan
menjadi dua fase: fase Mekkah dan Madinah. Fase ini bermula ketika Allah SWT
Mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-Qur’an ketika baginda sedang
berada dalam Gua Hira pada tahun ke 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun
610 Masehi. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah SAW di Mekah selama
tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau di Madinah dan di
tempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai baginda
Rasullullah SAW wafat pada tahun 11
hijriah.
Perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW
mengalamai dua periode, yaitu periode Mekah yang dinamakan dengan At-tsyri’
al-makki dan periode legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian
dinamakan dengan At-tasyri’ al-madani.
1.
Tasyri’
Periode Mekah
Periode ini lebih fokus pada upaya
mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan
akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan
akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk
pelaksanaan syariat.
Wahyu pada periode ini turun untuk
memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia kepada dua perkara utama ;
a.
Mengokohkan
akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, beriman kepada
Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul dan Hari Akhir.
b.
Membentuk akhlak
agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat tercela. Al-qur’an
memerintahkan berkata jujur, menepati janji adil, saling tolong-menolong,
memuliakan tetangga. Selain itu Al-qur’an juga melarang dari akhlak tercela.
Seperti berdusta, menipu, ingkar janji, berbuat zalim, menganiaya dan perilaku
lain yang dianggap melampaui batas.[1]
Dalam
ayat-ayat yang turun di Mekah pembinaan hukum belum terperinci. Namun sebagian
besar ayat-ayat pada periode ini kembali kepada tujuan pertama dalam agama yaitu mengesakan Allah SWT.
2.
Tasyri’ Periode
Madinah
Periode ini berlangsung sejak
hijrah Rasulullah SAW dari Mekah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama
sepuluh tahun. Pembinaan hukum secara terperinci sebagian besar datang pada
periode ini;
a.
Ilmu kalam atau
sesuatu yang berhubungan dengan Iman.
b.
Ilmu akhlak atau
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hati.
c.
Ilmu fiqih atau
sesuatu yang berhubungan dengan anggota badan, muamalah dan lain
sebagainya.[2]
Tidak
ada satu aspek pun kecuali sudah diatur dan dijelaskan hukumnya, baik
secara global maupun terperinci. Dan
inilah yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam firman Allah;
اليَومَ
أَكمَلتُ لَكُم دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ تِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ
الإسْلَامَ دِيْنًا
Artinya: Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu menjadi agama kamu. ( Q.S. Al-Maidah 5 : 3 )
B.
Sumber
Tasyri’ pada Periode Rasulullah SAW.
Sumber
adalah asal sesuatu, dan arti sumber hukum Islam sendiri adalah asal (tempat
pengambilan) hukum Islam. Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber yaitu
wahyu Allah dan sunnah RasulNya.
1.
Al-Quran
Al-qur’an adalah suatu kitab yang sudah dikenal,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sejak dari malam tanggal 17 Ramadhan tahun
41 kelahiran beliau. Beliau diberi wahyu ketika beliau sedang tahannuts di Gua Hira’.[3]
Al-qur’an merupakan sumber pertama dan
utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua
kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan. Allah
menetapkan bahwa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun ia turun secara
berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan problematika yang terjadi.
2.
As-Sunnah
As-sunnah adalah setiap yang keluar dari
Rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan selain dari
Al-qur’an. Sunnah menempati urutan kedua setelah Al-qur’an karena menjadi
penguat, penjelas, penafsiran atau penambahan terhadap hukum yang ada dalam
Al-qur’an. Karena Rasul sebagai pengatur segala urusan kaum muslim selain
sebagai seorang nabi yang mendapat perintah untuk menyampaikan syariat Allah
kepada seluruh manusia maka baginda juga mendapat mandat untuk menjelaskan
syariat secara umum yang akan mengatur umat pada setiap waktu dan tempat.
As-sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang
diturunkan secara global sebagaimana dalam firman Allah; Dan dirikanlah
sholat. Ini adalah nash global dalam pensyariatan sholat. Sedangkan
dari segi waktu, jumlah rekaat dan rukunnya semua dijelaskan oleh As-sunnah
dengan sabda rasul; sholatlah sebagaimana kalian melihat saya sholat.
As-sunnah juga datang sebagai penegas terhadap
hukum yang ada dalam Al-qur’an seperti haramnya mencuri, riba dan lain
sabagainya.
C. Ijtihad Nabi
Muhammad SAW
Yang
dimaksud dengan Ijtihad adalah mengeluarkan hukum yang tidak ada nash-nya.
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang
tidak ada ketentuan nash dari Allah:
1.
Kalangan
Asy’ariyah dari Ahli sunnah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada
ketentuan nash-nya. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah firman
Allah;
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ اْلهَوَى {3}
إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)
Ayat ini menafikan bahwa baginda
rasul menetapkan hukum dengan pendapat pribadi sendiri yang tidak ada wahyu
tentang itu karena setiap permasalahan yang muncul, baginda selalu berharap ada
wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka pasti itu
benar dan tidak ada yang salah, dan jika baginda berijtihad dengan pendapatnya
sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah.
Dalil
ini disanggah karena kata ganti huwa dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha” kembali kepada Al-qur’an. Ayat ini turun sebagai
jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Al-quran adalah
rekasaya Muhammad. Ayat ini turun dengan sebab yang khusus, sehingga makna yang
sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu
melainkan wahyu Allah. Oleh karena itu ayat tersebut hanya khusus untuk kasus
Alquran, dan tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan baginda Nabi
Muhammad SAW.
2.
Mayoritas ulama
ushul mengatakan boleh bagi baginda untuk berijtihad dalam setiap urusan, baginda
boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya.
Fakta membuktikan bahwa baginda
pernah berijtihad dalam banyak kejadian di antaranya adalah ; ada seorang
lelaki dari kabilah Ju’sum datang kepada baginda dan berkata “ayah saya masuk
Islam, namun ia sudah sangat tua, tidak bisa menaiki kendaraan dan melaksanakan
haji yang diwajibkan kepadanya, apakah saya boleh menghajikannya?” baginda
menjawab “ apakah kamu anaknya yang paling besar?” ia menjawab “ya” baginda
menjawab “ apakah yang akan kamu lakukan jika ayahmu ada utang, lalu kamu
membayarnya apakah boleh?” ia menjawab “ tentu” baginda menjawab “ hajikan
ayahmu”.
Contoh lain baginda berijtihad
adalah ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta
izin untuk tidak turun berpartisipasi dalam perang tabuk, maka turunlah ayat:
عَفَا
اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ اللَّذِيْنَ صَدَقُوا
وَتَعْلَمَ الكَاذِبِيْنَ
Artinya: Semoga
Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu
orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketehaui orang-orang yang bersdusta?.(Q.S.
At-Taubah 9 : 43 )
Dari sini
jelaslah bahwa Ijtihad Nabi memang terjadi dalam perkara yang tidak ada nash-nya,
dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika baginda
salah dalam ijtihadnya maka wahyu tidak akan membirakannya begitu saja tetapi
akan meluruskannya.[4]
D.
Ijtihad
Shahabat Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Dalam periode ini telah terjadi
sumber tasyri’ yang pertama yakni al-Qur’an yang mempengaruhi terhadap
perundang-undangan Islam, sedangkan sumber hukum yang utama yang dijadikan
pegangan dalam periodesasi ini adalah al-qur’an dan al-Hadits.
Disamping
al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sumber hukum yang ketiga, yaitu ijtihad. Dari segi cara, ijtihad adalah
metode penggalian hukum islam; sedangkan dari segi hasil, ia (hasil ijtihad) adalah
termasuk sumber hukum islam.
Di antara ijtihad shahabat yang dilakukan pada zaman
nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
a. Suatu hari
shahabat Nabi SAW berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi
bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra illa fi bani Quraizhah; jangan
sekali-kali kamu melaksanakan shalat asar kecuali di Bani Quraizhah. “sebelum
sampai ke Bani Quraizhah, waktu Asar hampir habis. Sebagian shahabat berijtihad
dengan melakukan shalat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah
tersebut adalah supaya shahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa
sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Asar habis. Sebagian shahabat
lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi SAW tersebut, sehingga mereka shalat Asar di bani
Quraizhah pada malam hari. Muhammad Salam Madkur mangatakan, ketika berita
ikhtilaf itu sampai kepada Nabi SAW, beliau membenarkan kedua tindakan shahabat
tersebut.
b. Dua orang
shahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak
mendapatkan air untuk berwudlu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat.
Setelah shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang shahabat berwudlu dan
kemudian shalat kembali; sedangkan shahabat yang satu kagi tidak. Kemudian
keduanya dating kepada Rasul SAW dan menceritakan pengalamannya. Kepada yang tidak
berwudlu dan tidak mengerjakan shalat, Nabi SAW bersabda, “Ashabta al-Sunnah”; Engkau
mengerjakan sesuai Sunnah.” Sedangkan kepada shahabat yang berwudlu dan
mengerjakan shalat, Nabi SAW bersabda, “al-Ajr marratain; Engkau mendapatkan
pahala dua kali.”[5]
Dari
contoh ijtihad yang dilakukan sahabat di atas, bahwa Rasulullah SWA pun
bermufakat apabila ijtihad yang dilakukan sahabat dapat dijadikan landasan
hukum Islam. Selama hal yang mereka ijtihad-kan memang tidak ditemukan
jawabannya di dalam Alquran dan Assunah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hukum
Perundangan-undangan pada masa Rasul terbagi dalam dua periode yaitu periode
Mekah yang berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun.
Pada periode Mekah pembinaan hukum lebih ke akidah dan akhlak secara umum
berbeda dengan periode Madinah, Periode Madinah
pembinaan hukumnya lebih terperinci.
2.
Sumber tasyri’
pada masa Rasul terpusat kepada Alquran yang turun secara berangsur-angsur
dan As-sunnah Nabi sebagai penguat, penjelas, penafsiran atau penambahan
terhadap hukum yang ada dalam Al-qur’an.
3.
Ijtihad Nabi telah terjadi dalam
perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh
wahyu dari segala sisi, jika baginda salah dalam ijtihadnya maka wahyu tidak
akan membirakannya begitu saja tetapi akan meluruskannya.
4.
Para shahabat
yang memegang ijtihad pada periode ini, menetapkan hukum dan dalil-dalilnya
melalui al-Qur’an dan Sunnah, sesudah mereka selidiki secara benar-benar baru
mereka menggunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok Jaih, 2003. Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Hudhari Bek, Tarikh
Tasri , Indonesia : Daarul Ikhya.
Rasyad Hasan
Khalil, 2015, Tarikh Tasyri’, Jakarta : AMZAH Sinar Grafika
Offset.
[5] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Offset, 2003 ), hlm.33-34