Selasa, 06 Oktober 2015

TARIKH TASYRIK MASA RASUL SAW.

TARIKH TASYRI’ MASA RASULULLAH SAW.
Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu : Dessy Srie Yanti Budiningsih, MSI





Oleh:
Isbah Ruddin               ( 11210362 )



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALISEMBILAN
 SEMARANG

TARIKH TASYRI’ MASA RASULULLAH SAW.
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan manusia. Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah Tasyri’. Tentunya dengan kondisi tersebut, Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-Qur’an. Banyak hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat disana, akan tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab, karena diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya
Pada masa Rasulullah SAW. kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW.
Selajutnya dalam makalah ini akan dibahas tentang bagaimana pembinaan hukum pada masa Rasulullah SAW, apa yang menjadi sumber hukum pada masa Rasulullah SAW dan bagaimana kedudukan Ijtihad di masa ini.
Semoga makalah ini dapat dijadikan pembelajaran untuk kita semua dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan tentang sejarah Islam khususnya dalam bidang pembinaan hukum Islam.

B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimana Tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah?
2.       Apa saja sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah?
3.       Bagaimana kedudukan ijtihad Rasulullah SAW dalam penetapan hukum?
4.       Bagaimana kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah SAW?

C.      Tujuan
1.     Mengetahui tarikh tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah.
2.     Mengetahui sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah.
3.     Mengetahui kedudukan ijtihad Rasulullah SAW dalam penetapan hukum.
4.     Mengetahui kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah SAW.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tasyri’ Pada Periode Makkah dan Madinah
Hukum islam pada masa Nabi Muhammad SAW dapat dibedakan menjadi dua fase: fase Mekkah dan Madinah. Fase ini bermula ketika Allah SWT Mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-Qur’an ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada tahun ke 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 Masehi. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah SAW di Mekah selama tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau di Madinah dan di tempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai baginda Rasullullah SAW wafat  pada tahun 11 hijriah.
Perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW mengalamai dua periode, yaitu periode Mekah yang dinamakan dengan At-tsyri’ al-makki dan periode legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian dinamakan dengan At-tasyri’ al-madani.
1.     Tasyri’ Periode Mekah
Periode ini lebih fokus pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia kepada dua perkara utama ;
a.      Mengokohkan akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul dan Hari Akhir.
b.     Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat tercela. Al-qur’an memerintahkan berkata jujur, menepati janji adil, saling tolong-menolong, memuliakan tetangga. Selain itu Al-qur’an juga melarang dari akhlak tercela. Seperti berdusta, menipu, ingkar janji, berbuat zalim, menganiaya dan perilaku lain yang dianggap melampaui batas.[1]
Dalam ayat-ayat yang turun di Mekah pembinaan hukum belum terperinci. Namun sebagian besar ayat-ayat pada periode ini kembali kepada tujuan pertama dalam agama  yaitu mengesakan Allah SWT.

2.     Tasyri’ Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah SAW dari Mekah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama sepuluh tahun. Pembinaan hukum secara terperinci sebagian besar datang pada periode ini;
a.      Ilmu kalam atau sesuatu yang berhubungan dengan Iman.
b.     Ilmu akhlak atau sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hati.
c.      Ilmu fiqih atau sesuatu yang berhubungan dengan anggota badan, muamalah dan lain sebagainya.[2]
Tidak ada satu aspek pun kecuali sudah diatur dan dijelaskan hukumnya, baik secara  global maupun terperinci. Dan inilah yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam firman Allah;
اليَومَ أَكمَلتُ لَكُم دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ تِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإسْلَامَ دِيْنًا
Artinya: Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama kamu. ( Q.S. Al-Maidah 5 : 3 )




B.      Sumber Tasyri’ pada Periode Rasulullah SAW.
Sumber adalah asal sesuatu, dan arti sumber hukum Islam sendiri adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber yaitu wahyu Allah dan sunnah RasulNya.
1.           Al-Quran
Al-qur’an adalah suatu kitab yang sudah dikenal, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sejak dari malam tanggal 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran beliau. Beliau diberi wahyu ketika beliau sedang tahannuts  di Gua Hira’.[3]
Al-qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan. Allah menetapkan bahwa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, namun ia turun secara berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan problematika yang terjadi.
2.           As-Sunnah
As-sunnah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan selain dari Al-qur’an. Sunnah menempati urutan kedua setelah Al-qur’an karena menjadi penguat, penjelas, penafsiran atau penambahan terhadap hukum yang ada dalam Al-qur’an. Karena Rasul sebagai pengatur segala urusan kaum muslim selain sebagai seorang nabi yang mendapat perintah untuk menyampaikan syariat Allah kepada seluruh manusia maka baginda juga mendapat mandat untuk menjelaskan syariat secara umum yang akan mengatur umat pada setiap waktu dan tempat.
As-sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan secara global sebagaimana dalam firman Allah; Dan dirikanlah sholat. Ini adalah nash global dalam pensyariatan sholat. Sedangkan dari segi waktu, jumlah rekaat dan rukunnya semua dijelaskan oleh As-sunnah dengan sabda rasul; sholatlah sebagaimana kalian melihat saya sholat.
As-sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hukum yang ada dalam Al-qur’an seperti haramnya mencuri, riba dan lain sabagainya.

C.    Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Yang dimaksud dengan Ijtihad adalah mengeluarkan hukum yang tidak ada nash-nya. Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah:
1.     Kalangan Asy’ariyah dari Ahli sunnah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash-nya. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah;
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ اْلهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)
Ayat ini menafikan bahwa baginda rasul menetapkan hukum dengan pendapat pribadi sendiri yang tidak ada wahyu tentang itu karena setiap permasalahan yang muncul, baginda selalu berharap ada wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka pasti itu benar dan tidak ada yang salah, dan jika baginda berijtihad dengan pendapatnya sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah.
Dalil ini disanggah karena kata ganti huwa dalam ayat in huwa illa wahyun yuha” kembali kepada Al-qur’an. Ayat ini turun sebagai jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Al-quran adalah rekasaya Muhammad. Ayat ini turun dengan sebab yang khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu Allah. Oleh karena itu ayat tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan baginda Nabi Muhammad SAW.
2.     Mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi baginda untuk berijtihad dalam setiap urusan, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya.
Fakta membuktikan bahwa baginda pernah berijtihad dalam banyak kejadian di antaranya adalah ; ada seorang lelaki dari kabilah Ju’sum datang kepada baginda dan berkata “ayah saya masuk Islam, namun ia sudah sangat tua, tidak bisa menaiki kendaraan dan melaksanakan haji yang diwajibkan kepadanya, apakah saya boleh menghajikannya?” baginda menjawab “ apakah kamu anaknya yang paling besar?” ia menjawab “ya” baginda menjawab “ apakah yang akan kamu lakukan jika ayahmu ada utang, lalu kamu membayarnya apakah boleh?” ia menjawab “ tentu” baginda menjawab “ hajikan ayahmu”.
Contoh lain baginda berijtihad adalah ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak turun berpartisipasi dalam perang tabuk, maka turunlah ayat:
عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ اللَّذِيْنَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الكَاذِبِيْنَ
Artinya: Semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketehaui orang-orang yang bersdusta?.(Q.S. At-Taubah 9 : 43 )
Dari sini jelaslah bahwa Ijtihad Nabi memang terjadi dalam perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika baginda salah dalam ijtihadnya maka wahyu tidak akan membirakannya begitu saja tetapi akan meluruskannya.[4]




D.    Ijtihad Shahabat Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Dalam periode ini telah terjadi sumber tasyri’ yang pertama yakni al-Qur’an yang mempengaruhi terhadap perundang-undangan Islam, sedangkan sumber hukum yang utama yang dijadikan pegangan dalam periodesasi ini adalah al-qur’an dan al-Hadits.
Disamping al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sumber hukum yang ketiga, yaitu  ijtihad. Dari segi cara, ijtihad adalah metode penggalian hukum islam; sedangkan dari segi hasil, ia (hasil ijtihad) adalah termasuk sumber hukum islam.
Di antara ijtihad shahabat yang dilakukan pada zaman nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
a.      Suatu hari shahabat Nabi SAW berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra illa fi bani Quraizhah; jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat asar kecuali di Bani Quraizhah. “sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Asar hampir habis. Sebagian shahabat berijtihad dengan melakukan shalat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya shahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Asar habis. Sebagian shahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi SAW tersebut, sehingga mereka shalat Asar di bani Quraizhah pada malam hari. Muhammad Salam Madkur mangatakan, ketika berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi SAW, beliau membenarkan kedua tindakan shahabat tersebut.
b.     Dua orang shahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudlu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat. Setelah shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang shahabat berwudlu dan kemudian shalat kembali; sedangkan shahabat yang satu kagi tidak. Kemudian keduanya dating kepada Rasul SAW dan menceritakan pengalamannya. Kepada yang tidak berwudlu dan tidak mengerjakan shalat, Nabi SAW bersabda, “Ashabta al-Sunnah”; Engkau mengerjakan sesuai Sunnah.” Sedangkan kepada shahabat yang berwudlu dan mengerjakan shalat, Nabi SAW bersabda, “al-Ajr marratain; Engkau mendapatkan pahala dua kali.”[5]
Dari contoh ijtihad yang dilakukan sahabat di atas, bahwa Rasulullah SWA pun bermufakat apabila ijtihad yang dilakukan sahabat dapat dijadikan landasan hukum Islam. Selama hal yang mereka ijtihad-kan memang tidak ditemukan jawabannya di dalam Alquran dan Assunah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.     Hukum Perundangan-undangan pada masa Rasul terbagi dalam dua periode yaitu periode Mekah yang berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun. Pada periode Mekah pembinaan hukum lebih ke akidah dan akhlak secara umum berbeda dengan periode Madinah, Periode Madinah  pembinaan hukumnya lebih terperinci.
2.     Sumber tasyri’ pada masa Rasul terpusat kepada Alquran yang turun secara berangsur-angsur dan As-sunnah Nabi sebagai penguat, penjelas, penafsiran atau penambahan terhadap hukum yang ada dalam Al-qur’an.
3.     Ijtihad Nabi telah terjadi dalam perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika baginda salah dalam ijtihadnya maka wahyu tidak akan membirakannya begitu saja tetapi akan meluruskannya.
4.     Para shahabat yang memegang ijtihad pada periode ini, menetapkan hukum dan dalil-dalilnya melalui al-Qur’an dan Sunnah, sesudah mereka selidiki secara benar-benar baru mereka menggunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan yang sempurna.

 DAFTAR PUSTAKA

Mubarok Jaih, 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Hudhari Bek, Tarikh Tasri , Indonesia : Daarul Ikhya.
Rasyad Hasan Khalil, 2015, Tarikh Tasyri’, Jakarta : AMZAH Sinar Grafika Offset.





[1] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, ( Jakarta : AMZAH Sinar Grafika Offset, 2015 ) Hlm. 42
[2] Hudhari Bek, Tarikh Tasri ,( Indonesia : Daarul Ikhya ) Hlm. 30
[3] Ibid, Hlm. 5
[4] Rasyad Hasan Khalil, Op. Cit, Hlm. 48
[5] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2003 ), hlm.33-34